Thursday, October 16, 2014


JAWA 1640-1682

            Kepentingan dagang VOC hampir seluruhnya terbatas di pesisir Jawa, tetapi kejadian-kejadian disana mempunyai kaitan yang sangat erat dengan wilayah pedalaman sehingga orang-orang Belanda akhirnya bergerak ke jantung Pulau Jawa. Putra dan pengganti Sultan Agung sebagai penguasa atas kerajaan Mataram adalah Susuhunan Amangkurat I (1646-77). Amangkurat I mengucilkan orang-orang yang kuat dan daerah-daerah yang penting, yang akhirnya menyebabkan berkobarnya suatu pemberontakan yang terbesar selama abad XVII, hal ini mengakibatkan tumbangnya wangsa tersebut dan campur tangan VOC.
            Amangkurat I memperlihatkan peranggainya sudah semenjak awal masa pemerintahannya. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, dia telah terlibat dalam suatu skandal yang melibatkan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Keluarga Wiraguna di Mataram dan orang-orang lain yang terlibat dalam skandal tahun 1637 tersebut dibunuh. Saudara laki-laki raja, Pangeran Alit memihak Wiraguna pada tahun 1637, dan ketika mengetahui sahabat-sahabatnya sedang dibunuh, dia mencari dukungan dikalangan para pemimpin islam.
            Pada tahun 1647 Amangkurat I pindah ke istananya yang baru di Plered, tepat disebelah timur laut Karta. Teman-teman lama ayahnya  menghilang satu demi satu, beberapa diantaranya mungkin karena lanjut usia, tetapi kebanyakan karena mereka dibunuh atas perintah raja. Pangeran Pekik dari Surabaya, yang dibunuh bersama-sama dengan sebagian besar anggota keluarganya pada tahun 1659. Pangeran Purbaya terancam tetapi berhasil selamat karena adanya campur tangan ibu suri. Pada tahun 1650 dia memerintahkan tentara Cirebon menyerang Banten, dan pada akhir tahun 1657 tentara Mataram sendiri bergerak menyerang Banten.
            Jambi dengan tegas menolak kekuasaan Mataram sesudah tahun 1663, dan memilih bekerja sama dengan VOC. Kalimantan juga sama sekali bebas dari pengaruh Mataram sesudah sekitar tahun 1659. Alasan-alasan yang telah menyebabkan terjadinya perpecahan di daerah pinggiran kerajaan ini pada dasarnya bersifat kemiliteran. Amangkurat I tidak sanggup menyelenggarakan ekspedisi-ekspedisi seperti yang telah dijalankan oeh Sultan Agung.
            Hubungan raja dengan VOC mula-mula tampak bersahabat. Pada tahun 1646 dia menyetujui suatu perjanjian persahabatan yang mengatur pertukaran tawanan, dan VOC mengembalikan uang yang telah dirampasnya dari seorang utusan Sultan Agung yang sedang perjalanan ke Mekah pada tahun 1642.
            Amangkurat I tampaknya menganggap perjanjian ini sebagai bukti tunduknya Batavia kepada kekuasaannya, dan VOC tidak merasa perlu menyatakan penafsiran lain. Pada tahun 1651 Amangkurat I memerintahkan diadakannya suatu sensus, mungkin untuk mempermudah penarikan pajak.pada tahun 1652 dia melarang sama sekali ekspor beras dan kayu. Pada tahun 1655 Amangkurat I memerintahkan agar pelabuhan-pelabuhan ditutup sama sekali. Pada tahun 1657 pelabuhan-pelabuhan tersebut tiba-tiba dibuka kembali, tetapi pada tahun 1660 dinyatakan tertutup lagi bagi semua pedagang. Sulit untuk mengetahui berapa kuat perlawanan terhadap Amangkurat I sebelum akhir tahun 1660-an.
            Akan tetapi, pada tahun 1660-an muncul seseorang yang posisi maupun kekuatannya atas pasukan cukup memadai untuk menjamin dirinya mempunyai harapan untuk selamat dan berhasil. Prang itu adalah putri raja sendiri, putra mahkota, yang kelak akan bergelar Susuhunan Amangkurat II (1677-1703). Para pangeran terpecah belah oleh perasaan iri dan ambisi mereka daam suatu lingkungan politik dimana pembunuhan merupakan harga yang harus dibayar bagi suatu langkah yang keliru.
            Bahkan yang lebih penting, putrinya yang sulung menikah dengan seorang pangeran dari Madura yang bernama Raden Trunajaya (!649-80) yang tidak senang dengan pemerintahan Amangkurat I. Raden Kajoran memperkenalkan Trunajaya kepada putra mahkota sekitar tahun 1670, dan hasilnya adalah suatu persekongkolan yang paling menentukan dalam menentang Amangkurat I.
            Ujung tombak pemberontakan adalah orang-orang non-Jawa. Pertama-tama berhimpun prajurit-prajurit Madura, kemudian satuan-satuan prajurit yang ganas dari Indonesia Timur, yaitu orang-orang Makasar.  Setelah meninggalkan kampung halaman mereka setelah kekalahan Gowa pada tahun 1669 dan karena pemerintahan Arung Palaka yang bersifat menindas maka gerombolan-gerombolan orang Makasar berlayar ke Jawa. Semakin banyak orang Makasar yang bergabung dengan mereka dan pada tahun 1675 mereka bersekutu dengan Trunajaya dan mulai menyerang pelabuhan-pelabuhan Jawa.         
            Kini kerajaan Mataram mulai mengalami disintegrasi. Raja sudah berusia lanjut  dan sakit-sakitan, tetapi kelaliman dan pembunuhan masih terus berlanjut. Pada tahun 1674-6 bahaya kelaparan merajalela dan berjangkit wabah penyakit. Kesetiaan daerah pesisir terpecah belah. Titik balik militer yang sangat menentukan terjadi pada tahun 1676.tentara kerajaan bertempur melawan Trunajaya di Godogog di daerah pesisir timur laut pada  bulan Oktober 1676, dan mengalami disintegrasi. Setelah kejadian  di Godogog banyak pembesar Jawa yang tidak mau lagi mengikuti Amangkurat I sebagai raja mereka dan bergabung dengan kaum pemberontak.
            Pada awal tahun 1677 pasukan-pasukan pemberontak menguasai semua pelabuhan. Aspirasi Trunajaya semakin menigkat. Pada awal tahun 1676, dia telah memakai gelar panembahan (orang yang dihormati) dan raja. Pada akhir tahun 1676 Batavia mengambil keputusan akan melakukan campur tangan terbatas dengan tujuan untuk mengupayakan semacam penyelesaian.
            Sangat disangsikan pula manfaatnya melancarkan suatu peperangan  di Jawa, karena beberapa orang merasa yakin bahwa VOC dapat menaklukan Jawa hanya dengan menghancurkan pulau tersebut dan melibatkan VOC dalam pengeluaran yang sangat besar. Pada bulan Februari 1677 Amangkurat I dan VOC memperbarui perjanjian tahun 1646 yang sudah lama tidak berarti lagi. Pihak Belanda berjanji akan membantu raja melawan musuh-musuhnya, tetapi raja harus membayar semua biaya yang dikeluarkan untuk bantuan semacam itu dan memberikan konsensi-konsensi ekonomi pada VOC, misalnya pembebasan dari cukai.
            Pada bulan Mei 1677 VOC melakukan campur tangan didaerah pesisir. Mereka berhasil memukul mundur Trunajaya dari Surabaya sehingga memaksa pasukannya mundur lebih jauh lagi memasuki wilayah pedalaman dan hal ini justru telah mendorong lebih banyak lagi orang Jawa untuk bergabung dengannya. Tradisi Jawa juga menyebutkan bahwa hampir seabad  sebelumnya  Pulung yang jatuh di Sela Gilang telah meramalkan kepada Senapati bahwa Mataram akan jatuh pada zaman cicit laki-lakinya yaitu Amangkurat I.
            Raja telah meninggalkan istana sebelum musuh-musuhnya senpat mencaainya. Dia menyerahkan istananya kepada putranya Pangeran Puger, dan membawa serta putra mahkota bersamanya ke arah barat laut menuju daerah pesisir. Puger tidak mampu melawan kaum pemberontak, dan terpaksa melarikan diri dan meninggalkan istana untuk mereka. Amangkurat I tidak kuasa mengatasi penderitaan selama pelariannya. Dia wafat pada bulan Juli 1677, pada tanggal 13 Juli putranya memakamkannya di Tegal Wangi (ke selatan dari Tegal), di pesisir utara.
            Berdasarkan perjanjian bulan Februari 1677, persekutuan VOC Amangkurat II tersebut diperkuat pada bulan Juli 1677. Akan tetapi, sejak semula raja tampak enggan untuk mempercayai sekutu-sekutunya sepenuhnya, dan baru pada bulan September dia setuju untuk pergi dari Tegal ke Jepara.  Pada akhir tahun 1679, Trunajaya tertangkap di Jawa Timur da dihadapkan kepada Raja. Pada bulan Januari 1680, Amangkurat II pribadi menikamnya sampai mati. Pada bulan November 1679, pasukan Makasar dipukul mundur dari kubu pertahanan utama mereka di Keper, Jawa Timur.
            Disini VOC mendapat bantuan dari satuan pasukan yang paling besar keahliannya dalam memerangi orang-orang Makasar tersebut yaitu Arung Palakka dari Bone bersama prajurit-prajurit Bugisnya. Pada bulan April 1680, dalam suatu pertempuran yng digambarkan oleh pihak Belanda sebagai yang paling dahsyat, Panembahan Giri gugur dan sebagian besar anggotanya dibunuh. Karena Amangkurat II dn VOC semakin bnanyak memperoleh kemenangan, maka semakin lama semakin banyak orang Jawa yang meyatakan kesetiaan mereka kepada raja ini.
            VOC seringkali tampak terpencil ditengah-tengah pasukan-pasukan musuh yang jauh lebih besar, tidak mengenal medan, perbekalannya kurang baik, diserang penyakit, disesatkan atau ditinggalkan oleh sekutu-sekutunya orang Indonesia, serta diperlemah pleh ketidak cakapan dan konflik-konflik internal yang tak ada henti-hentinya diantara paa komandan maupun pejabat-pejabat tingginya.
            VOC percaya bahwa kekuasaan raja lebih absolut daripada yang diperkenankan oleh tradisi Jawa dan situasi. Oleh karena itulah, mka dalam usahanya menegakan stabilitas, VOC mendukung para penguasa yang oleh tokh-tokoh terkemuka Jawa diyakini tidak mempunyai hak yang sah atau tidak memiliki kecakapan untuk memerintah. Dengan demikian, maka pihak Belanda lebih banyak memperburuk daripada memecahkan sumber instabilitas ini. Kebijakan-kebijakan tersebut juga menuntut biaya yang sangat besar dibidang militer dan inilah sebenarnya yang menjadi sebagian penyebab merosotnya keuangan VOC selama abad XVIII.
            Di Jawa Barat, Baanten juga mengalami suatu krisis yang mengakibatkan intervensi VOC. Masa pemerintahan Sultan Ageng dari Banten (1651-83) yang juga terkenal sebagai sultan Tirtayasa, merupakan zaman keemasan kerajaan ini. Sultan Ageng merupakan musuh VOC yang kuat. Pihak Belanda ingin mendapatkan monopoli penyediaan lada Banten yang sangat kaya ini dan merasa cemas akan adanya sebuah negara yang kaya dan sangat kuat yang letaknya dekat dengan markas besar di negara Batavia. Pada tahun 1645 ditandatangani suatu perjanjian yang mengatur hubungan VOC Banten. Akan tetapi segera timbul lagi konflik ketika Sultan Ageng naik tahta pada tahun 1651. Pada tahun 1656 meletus perang pihak Banten menyerang daerah-daerah Batavia dan kapal-kapal VOC, sedangkan VOC meblokade pelabuhan.
            Pada tahun 1659 tercapai suatu penyelesaian damai. Pada tahun 1671 gerombolan-gerombolan orang Makasar, yang mempunyai segudang alasan untuk membenci VOC, tiba di Banten.
            Pada tahun 1678 dia menulis surat kepada Amangkurat II, menuduhnya sebagai seorang muslim maupun kristen melainkan suatu diantara keduanya, dan bukan lagi seorang raja melainkan hanya merupakan orang dewasa dibawah kekuasaan VOC. Dengan dikepungnya Batavia oleh pasukan-pasukan Banten dari arah barat, selatan, timur dan juga dari laut, tentu saja VOC secepatnya memberitahukan kemenangannya di Kediri pada tahun 1678 kepada pihak Banten, Sultan Ageng tidak bergerak.
            Pada bulan Maret 1682 sebuah pasukan VOC yang dipimpin oleh Francois Tack dan Isaac de Saint-Martin menuju Banten. Pada saat ini putra mahkota sudah terkepung didalam istananya. Para pendukung Sultan Ageng telah berhasil merebut kembali kota tersebut dan membakarnya. Mataram tidak mempunyai  saana-sarananya untuk menguasai priangan, dan bagaimanapun juga. Dengan tumbangnya kekuasaan Banten maka penguasaan VOC atas Cirebon, Cirebon akan tetap bersahabat dengan Mataram, tetapi sebetulnya VOC kini merupakan kekuatan luar yang menentukan Cirebon.

            VOC berhasil mendapatkan monopoli atas impor tekstil dan candu, pembebasan dari cukai dan monopoli atas pembelian lada disana. Amangkurat II merasa tidak senang tetapi tidak dapat berbuat apa-apa atas terlepasnya Cirebon dari kekuasaannya. Sekitar tahun 1682 musuh-musuh utama VOC di Jawa telah berhasil dihancurkan. Akan tetapi, seperti yang akan dilihat dalam bab berikutnya, segera menjadi lebih jelas bahwa campur tangan VOC di kerajaan Mataram yang luas lebih banyak memperburuk permasalahan daripada memecahakannya.   

No comments:

Post a Comment