JAWA 1640-1682
Kepentingan dagang VOC hampir
seluruhnya terbatas di pesisir Jawa, tetapi kejadian-kejadian disana mempunyai
kaitan yang sangat erat dengan wilayah pedalaman sehingga orang-orang Belanda
akhirnya bergerak ke jantung Pulau Jawa. Putra dan pengganti Sultan Agung
sebagai penguasa atas kerajaan Mataram adalah Susuhunan Amangkurat I (1646-77).
Amangkurat I mengucilkan orang-orang yang kuat dan daerah-daerah yang penting,
yang akhirnya menyebabkan berkobarnya suatu pemberontakan yang terbesar selama
abad XVII, hal ini mengakibatkan tumbangnya wangsa tersebut dan campur tangan
VOC.
Amangkurat I memperlihatkan peranggainya
sudah semenjak awal masa pemerintahannya. Pada tahun 1637, ketika masih
berstatus sebagai putra mahkota, dia telah terlibat dalam suatu skandal yang
melibatkan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Keluarga
Wiraguna di Mataram dan orang-orang lain yang terlibat dalam skandal tahun 1637
tersebut dibunuh. Saudara laki-laki raja, Pangeran Alit memihak Wiraguna pada tahun
1637, dan ketika mengetahui sahabat-sahabatnya sedang dibunuh, dia mencari
dukungan dikalangan para pemimpin islam.
Pada tahun 1647 Amangkurat I pindah
ke istananya yang baru di Plered, tepat disebelah timur laut Karta. Teman-teman
lama ayahnya menghilang satu demi satu,
beberapa diantaranya mungkin karena lanjut usia, tetapi kebanyakan karena
mereka dibunuh atas perintah raja. Pangeran Pekik dari Surabaya, yang dibunuh
bersama-sama dengan sebagian besar anggota keluarganya pada tahun 1659. Pangeran
Purbaya terancam tetapi berhasil selamat karena adanya campur tangan ibu suri.
Pada tahun 1650 dia memerintahkan tentara Cirebon menyerang Banten, dan pada
akhir tahun 1657 tentara Mataram sendiri bergerak menyerang Banten.
Jambi dengan tegas menolak kekuasaan
Mataram sesudah tahun 1663, dan memilih bekerja sama dengan VOC. Kalimantan
juga sama sekali bebas dari pengaruh Mataram sesudah sekitar tahun 1659.
Alasan-alasan yang telah menyebabkan terjadinya perpecahan di daerah pinggiran
kerajaan ini pada dasarnya bersifat kemiliteran. Amangkurat I tidak sanggup
menyelenggarakan ekspedisi-ekspedisi seperti yang telah dijalankan oeh Sultan
Agung.
Hubungan raja dengan VOC mula-mula
tampak bersahabat. Pada tahun 1646 dia menyetujui suatu perjanjian persahabatan
yang mengatur pertukaran tawanan, dan VOC mengembalikan uang yang telah
dirampasnya dari seorang utusan Sultan Agung yang sedang perjalanan ke Mekah
pada tahun 1642.
Amangkurat I tampaknya menganggap
perjanjian ini sebagai bukti tunduknya Batavia kepada kekuasaannya, dan VOC
tidak merasa perlu menyatakan penafsiran lain. Pada tahun 1651 Amangkurat I
memerintahkan diadakannya suatu sensus, mungkin untuk mempermudah penarikan
pajak.pada tahun 1652 dia melarang sama sekali ekspor beras dan kayu. Pada
tahun 1655 Amangkurat I memerintahkan agar pelabuhan-pelabuhan ditutup sama
sekali. Pada tahun 1657 pelabuhan-pelabuhan tersebut tiba-tiba dibuka kembali,
tetapi pada tahun 1660 dinyatakan tertutup lagi bagi semua pedagang. Sulit
untuk mengetahui berapa kuat perlawanan terhadap Amangkurat I sebelum akhir
tahun 1660-an.
Akan tetapi, pada tahun 1660-an
muncul seseorang yang posisi maupun kekuatannya atas pasukan cukup memadai
untuk menjamin dirinya mempunyai harapan untuk selamat dan berhasil. Prang itu
adalah putri raja sendiri, putra mahkota, yang kelak akan bergelar Susuhunan
Amangkurat II (1677-1703). Para pangeran terpecah belah oleh perasaan iri dan
ambisi mereka daam suatu lingkungan politik dimana pembunuhan merupakan harga
yang harus dibayar bagi suatu langkah yang keliru.
Bahkan yang lebih penting, putrinya
yang sulung menikah dengan seorang pangeran dari Madura yang bernama Raden
Trunajaya (!649-80) yang tidak senang dengan pemerintahan Amangkurat I. Raden
Kajoran memperkenalkan Trunajaya kepada putra mahkota sekitar tahun 1670, dan
hasilnya adalah suatu persekongkolan yang paling menentukan dalam menentang
Amangkurat I.
Ujung tombak pemberontakan adalah
orang-orang non-Jawa. Pertama-tama berhimpun prajurit-prajurit Madura, kemudian
satuan-satuan prajurit yang ganas dari Indonesia Timur, yaitu orang-orang
Makasar. Setelah meninggalkan kampung
halaman mereka setelah kekalahan Gowa pada tahun 1669 dan karena pemerintahan
Arung Palaka yang bersifat menindas maka gerombolan-gerombolan orang Makasar
berlayar ke Jawa. Semakin banyak orang Makasar yang bergabung dengan mereka dan
pada tahun 1675 mereka bersekutu dengan Trunajaya dan mulai menyerang
pelabuhan-pelabuhan Jawa.
Kini kerajaan Mataram mulai
mengalami disintegrasi. Raja sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan, tetapi kelaliman dan
pembunuhan masih terus berlanjut. Pada tahun 1674-6 bahaya kelaparan merajalela
dan berjangkit wabah penyakit. Kesetiaan daerah pesisir terpecah belah. Titik
balik militer yang sangat menentukan terjadi pada tahun 1676.tentara kerajaan
bertempur melawan Trunajaya di Godogog di daerah pesisir timur laut pada bulan Oktober 1676, dan mengalami
disintegrasi. Setelah kejadian di
Godogog banyak pembesar Jawa yang tidak mau lagi mengikuti Amangkurat I sebagai
raja mereka dan bergabung dengan kaum pemberontak.
Pada awal tahun 1677 pasukan-pasukan
pemberontak menguasai semua pelabuhan. Aspirasi Trunajaya semakin menigkat.
Pada awal tahun 1676, dia telah memakai gelar panembahan (orang yang dihormati)
dan raja. Pada akhir tahun 1676 Batavia mengambil keputusan akan melakukan
campur tangan terbatas dengan tujuan untuk mengupayakan semacam penyelesaian.
Sangat disangsikan pula manfaatnya
melancarkan suatu peperangan di Jawa,
karena beberapa orang merasa yakin bahwa VOC dapat menaklukan Jawa hanya dengan
menghancurkan pulau tersebut dan melibatkan VOC dalam pengeluaran yang sangat
besar. Pada bulan Februari 1677 Amangkurat I dan VOC memperbarui perjanjian
tahun 1646 yang sudah lama tidak berarti lagi. Pihak Belanda berjanji akan
membantu raja melawan musuh-musuhnya, tetapi raja harus membayar semua biaya
yang dikeluarkan untuk bantuan semacam itu dan memberikan konsensi-konsensi
ekonomi pada VOC, misalnya pembebasan dari cukai.
Pada bulan Mei 1677 VOC melakukan
campur tangan didaerah pesisir. Mereka berhasil memukul mundur Trunajaya dari
Surabaya sehingga memaksa pasukannya mundur lebih jauh lagi memasuki wilayah
pedalaman dan hal ini justru telah mendorong lebih banyak lagi orang Jawa untuk
bergabung dengannya. Tradisi Jawa juga menyebutkan bahwa hampir seabad sebelumnya Pulung yang jatuh di Sela Gilang telah
meramalkan kepada Senapati bahwa Mataram akan jatuh pada zaman cicit
laki-lakinya yaitu Amangkurat I.
Raja telah meninggalkan istana
sebelum musuh-musuhnya senpat mencaainya. Dia menyerahkan istananya kepada
putranya Pangeran Puger, dan membawa serta putra mahkota bersamanya ke arah
barat laut menuju daerah pesisir. Puger tidak mampu melawan kaum pemberontak,
dan terpaksa melarikan diri dan meninggalkan istana untuk mereka. Amangkurat I
tidak kuasa mengatasi penderitaan selama pelariannya. Dia wafat pada bulan Juli
1677, pada tanggal 13 Juli putranya memakamkannya di Tegal Wangi (ke selatan
dari Tegal), di pesisir utara.
Berdasarkan perjanjian bulan
Februari 1677, persekutuan VOC Amangkurat II tersebut diperkuat pada bulan Juli
1677. Akan tetapi, sejak semula raja tampak enggan untuk mempercayai
sekutu-sekutunya sepenuhnya, dan baru pada bulan September dia setuju untuk
pergi dari Tegal ke Jepara. Pada akhir
tahun 1679, Trunajaya tertangkap di Jawa Timur da dihadapkan kepada Raja. Pada
bulan Januari 1680, Amangkurat II pribadi menikamnya sampai mati. Pada bulan
November 1679, pasukan Makasar dipukul mundur dari kubu pertahanan utama mereka
di Keper, Jawa Timur.
Disini VOC mendapat bantuan dari
satuan pasukan yang paling besar keahliannya dalam memerangi orang-orang
Makasar tersebut yaitu Arung Palakka dari Bone bersama prajurit-prajurit
Bugisnya. Pada bulan April 1680, dalam suatu pertempuran yng digambarkan oleh
pihak Belanda sebagai yang paling dahsyat, Panembahan Giri gugur dan sebagian
besar anggotanya dibunuh. Karena Amangkurat II dn VOC semakin bnanyak
memperoleh kemenangan, maka semakin lama semakin banyak orang Jawa yang
meyatakan kesetiaan mereka kepada raja ini.
VOC seringkali tampak terpencil
ditengah-tengah pasukan-pasukan musuh yang jauh lebih besar, tidak mengenal
medan, perbekalannya kurang baik, diserang penyakit, disesatkan atau
ditinggalkan oleh sekutu-sekutunya orang Indonesia, serta diperlemah pleh
ketidak cakapan dan konflik-konflik internal yang tak ada henti-hentinya
diantara paa komandan maupun pejabat-pejabat tingginya.
VOC percaya bahwa kekuasaan raja
lebih absolut daripada yang diperkenankan oleh tradisi Jawa dan situasi. Oleh
karena itulah, mka dalam usahanya menegakan stabilitas, VOC mendukung para
penguasa yang oleh tokh-tokoh terkemuka Jawa diyakini tidak mempunyai hak yang
sah atau tidak memiliki kecakapan untuk memerintah. Dengan demikian, maka pihak
Belanda lebih banyak memperburuk daripada memecahkan sumber instabilitas ini.
Kebijakan-kebijakan tersebut juga menuntut biaya yang sangat besar dibidang
militer dan inilah sebenarnya yang menjadi sebagian penyebab merosotnya
keuangan VOC selama abad XVIII.
Di Jawa Barat, Baanten juga mengalami
suatu krisis yang mengakibatkan intervensi VOC. Masa pemerintahan Sultan Ageng
dari Banten (1651-83) yang juga terkenal sebagai sultan Tirtayasa, merupakan
zaman keemasan kerajaan ini. Sultan Ageng merupakan musuh VOC yang kuat. Pihak
Belanda ingin mendapatkan monopoli penyediaan lada Banten yang sangat kaya ini
dan merasa cemas akan adanya sebuah negara yang kaya dan sangat kuat yang
letaknya dekat dengan markas besar di negara Batavia. Pada tahun 1645
ditandatangani suatu perjanjian yang mengatur hubungan VOC Banten. Akan tetapi
segera timbul lagi konflik ketika Sultan Ageng naik tahta pada tahun 1651. Pada
tahun 1656 meletus perang pihak Banten menyerang daerah-daerah Batavia dan
kapal-kapal VOC, sedangkan VOC meblokade pelabuhan.
Pada tahun 1659 tercapai suatu
penyelesaian damai. Pada tahun 1671 gerombolan-gerombolan orang Makasar, yang
mempunyai segudang alasan untuk membenci VOC, tiba di Banten.
Pada tahun 1678 dia menulis surat
kepada Amangkurat II, menuduhnya sebagai seorang muslim maupun kristen
melainkan suatu diantara keduanya, dan bukan lagi seorang raja melainkan hanya
merupakan orang dewasa dibawah kekuasaan VOC. Dengan dikepungnya Batavia oleh
pasukan-pasukan Banten dari arah barat, selatan, timur dan juga dari laut,
tentu saja VOC secepatnya memberitahukan kemenangannya di Kediri pada tahun
1678 kepada pihak Banten, Sultan Ageng tidak bergerak.
Pada bulan Maret 1682 sebuah pasukan
VOC yang dipimpin oleh Francois Tack dan Isaac de Saint-Martin menuju Banten.
Pada saat ini putra mahkota sudah terkepung didalam istananya. Para pendukung
Sultan Ageng telah berhasil merebut kembali kota tersebut dan membakarnya.
Mataram tidak mempunyai saana-sarananya
untuk menguasai priangan, dan bagaimanapun juga. Dengan tumbangnya kekuasaan
Banten maka penguasaan VOC atas Cirebon, Cirebon akan tetap bersahabat dengan
Mataram, tetapi sebetulnya VOC kini merupakan kekuatan luar yang menentukan
Cirebon.
VOC berhasil mendapatkan monopoli
atas impor tekstil dan candu, pembebasan dari cukai dan monopoli atas pembelian
lada disana. Amangkurat II merasa tidak senang tetapi tidak dapat berbuat
apa-apa atas terlepasnya Cirebon dari kekuasaannya. Sekitar tahun 1682
musuh-musuh utama VOC di Jawa telah berhasil dihancurkan. Akan tetapi, seperti
yang akan dilihat dalam bab berikutnya, segera menjadi lebih jelas bahwa campur
tangan VOC di kerajaan Mataram yang luas lebih banyak memperburuk permasalahan
daripada memecahakannya.
No comments:
Post a Comment